Namun di sisi lain, masyarakat yang terdampak bencana juga harus terlibat menjadi faktor utama dalam upaya pengurangan risiko bencana tersebut. Sehingga upaya tersebut tak jarang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat agar mereka dapat berpindah.
Salah satu upaya relokasi yang dapat diukur keberhasilannya adalah kejadian bencana erupsi Gunung Semeru yang kembali terjadi di tahun 2022.
Setahun sebelumnya, erupsi Gunung Semeru mengakibatkan 51 orang meninggal dunia. Namun, erupsi yang sama di tahun 2022 belum terlaporkan adanya korban jiwa, dikarenakan masyarakat di wilayah terdampak telah tinggal di kawasan relokasi Desa Sumber Mujur, Kecamatan Candipuro, dan Desa Oro-Oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang.
Oleh sebab itu, upaya relokasi juga diterapkan oleh sejumlah kawasan yang telah terdampak bencana dan tidak memungkinkan untuk dihuni kembali. Misalnya, pada bencana gempa Cianjur, warga yang tinggal di sekitar patahan Cugenang yang baru terdeteksi, akan direlokasi ke Kecamatan Cilaku, Mande dan Pacet.
Pembangunan rumah relokasi pemerintah menggunakan menggunakan teknologi rumah instan sederhana sehat (RISHA) dengan tipe 36 dan dibangun di atas lahan seluas 108 meter persegi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sementara itu, BNPB juga merekomendasi cara murah meriah untuk memperkuat bangunan rumah menjadi tahan gempa yakni metode ferrocement atau ferosemen.
Cara tersebut menggunakan material sederhana seperti kawat kandang ayam yang dianyam (wiremesh) sebagai lapisan pada dinding pasangan bata, juga untuk menambah kekuatan struktur serta mengurangi atau menghilangkan penggunaan tulangan baja.
Cara tersebut telah diuji di beberapa tempat, termasuk di Jepang, dan secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Biaya untuk metode ferosemen untuk satu rumah berkisar Rp2,5 juta.
Jika metode ferosemen dilakukan pada satu ruangan saja pasa satu rumah, tempat itu bisa digunakan sebagai safe shelter jika penghuninya tidak dapat keluar rumah saat terjadi bencana.
Kemudian pada wilayah yang rawan banjir dan longsor, sudah seharusnya ada upaya menghijaukan lagi daerah aliran sungai sebanyak 30 persen, untuk memperbaiki lingkungan kembali.
Tidak ada yang bisa memprediksi kapan terjadinya suatu bencana. Namun, seyogyanya upaya mitigasi bencana yang tampak memakan biaya dan waktu yang panjang harus terus-menerus dilakukan.
Mitigasi dimulai dari lingkup terkecil keluarga, masyarakat, hingga tingkat pemerintahan. Semua harus ikut terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana. Dengan demikian, seiring tahun berganti, Indonesia akan semakin resiliens dalam menghadapi bencana. (***)