Pengurangan risiko bencana menjadi poin penting yang didorong oleh para pemimpin negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 ketujuh di Bali pada 25-28 Mei 2022.
Para delegasi Indonesia turut mempromosikan pentingnya modalitas sosial dalam upaya membangun resiliensi menghadapi bencana. Modalitas sosial yang ada di Indonesia, seperti halnya kearifan lokal dan gotong-royong, belum tentu dimiliki oleh negara-negara lain dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Dalam pertemuan tersebut, para pemimpin dunia menghasilkan Agenda Bali untuk Resiliensi Berkelanjutan, yang seterusnya dibawa ke Konferensi Perubahan Iklim PBB 2022 (COP27), G20, dan kegiatan Tinjauan Jangka Menengah (Mid-Term Review) Kerangka Sendai. Resiliensi adalah kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan.
Rekomendasi inti dari Agenda Bali yang akan diterapkan untuk menerapkan pendekatan ‘Berpikir tentang Ketahanan’ untuk semua investasi dan pengambilan keputusan, mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana dengan seluruh pemerintah dan seluruh masyarakat.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto mengatakan kepemimpinan Indonesia sebagai tuan rumah GPDRR 2022 menegaskan Indonesia tidak hanya sekedar terlibat dalam agenda kebencanaan Asia Pasifik, namun juga dunia.
Tidak hanya dapat belajar mengenai praktik baik mitigasi hingga penanggulangan bencana, Indonesia juga menawarkan kepada dunia mengenai agenda resiliensi berkelanjutan.
Seperti penguatan budaya kesiapsiagaan bencana, investasi di bidang sains teknologi dan inovasi kebencanaan, membangun infrastruktur dan resilien terhadap bencana perubahan iklim dan komitmen mengimplementasikan kesepakatan global tingkat lokal Agenda Bali untuk Resiliensi Berkelanjutan hasil dari GPDRR 2022.
Empat poin tersebut diharapkan menjadi jawaban atas tantangan dunia, tidak hanya Indonesia, mengenai bagaimana penanggulangan bencana dilakukan setelah pandemi COVID-19 dan di tengah ancaman perubahan iklim.
Relokasi sebagai mitigasi
Pengalaman bencana pada yang memakan korban jiwa pada tahun 2021 seperti Siklon Tropis Seroja, Nusa Tenggara Timur, hingga erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur, membuat upaya penanganan bencana tidak hanya sekadar evakuasi, pencarian dan pertolongan, serta pemberian bantuan. Namun, hal penting lainnya yakni relokasi.
Relokasi penduduk ke lokasi yang minim kerawanan bencana, tentu sebuah upaya yang cukup besar. Pasalnya, pemerintah tidak hanya sekedar membangun permukiman baru yang aman dan memindahkan masyarakat.
Terkadang relokasi menjadi tidak mudah, karena masyarakat tidak terima untuk berpindah lebih jauh dari lokasi mata pencahariannya.