Lintasrepublik.com, Rabu, 16 Desember 2020
- Pendidikan
Mahyeldi menjalani masa kecil di Nagari Gadut, Tilatang Kamang, Kabupaten Agam. Ia lahir dari pasangan Mardanis St. Tanameh (ayah) dan Nurmi (ibu) sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah seorang tukang becak dan buruh angkat di Pasar Atas, Bukittinggi. Sejak masih kelas tiga SD, ia sudah bekerja membantu ayahnya untuk mendapatkan uang. Seusai membantu ayahnya, ia bergegas ke sekolah. Meskipun harus bekerja, ia tetap meraih juara di kelas.
Saat Mahyeldi kelas lima SD, ia dan keluarga pindah ke Kota Dumai. Ia tetap bekerja untuk menopang ekonomi keluarga hingga masuk SMP. Usai salat subuh, ia berjualan ikan yang didapatnya dari nelayan asal Pariaman yang akrab disapa Ajo. Sebagai imbalan, ia mendapat potongan harga ikan. Setelah berjualan ikan, ia menjadi loper koran. Ia direkrut oleh pemuda asal Aceh, pemilik kios buku dan koran terkemuka di Dumai. Dengan berjualan koran, ia banyak tahu informasi yang sedang terjadi. Gurunya yang enggan membeli koran sering menanyakan kepadanya mengenai berita aktual.
Di kios buku dan koran tempat ia bekerja, Mahyeldi dapat membaca banyak buku, sembari menunggu jam sekolahnya yang masuk pada siang hari. Alhasil, pengetahuannya di atas rata-rata murid di sekolahnya. Buku-buku Islam menjadi buku yang digemari Mahyeldi. Saat gurunya memberi esai tentang tokoh idola, ia langsung menulis kisah Nabi Muhammad.
- Aktivisme
SMA Negeri 1 Bukittinggi
Mahyeldi rutin menghadiri kegiatan keislaman di lingkungan tempat tinggalnya sejak SMP di Dumai. Ia mengetuai kegiatan penyelenggaraan hari besar Islam baik di sekolah maupun tempat tinggalnya. Ia juga membentuk kelompok diskusi-diskusi agama yang ia adakan di masjid tempat tinggalnya.